Diawali dengan pertemuan tiga tokoh utama yaitu Yusuf, Maria, dan Tuti (kakak Maria). Yusuf seseorang mahasiswa kedokteran tingkat akhir. Maria seorang mahasiswi periang, senang akan pakaian bagus, dan memandang kehidupan dengan penuh kebahagian. Tuti adalah guru dan juga seorang gadis pemikir yang berbicara seperlunya saja, aktif dalam perkumpulan dan memperjuangkan kemajuan wanita. Kemajuan wanita disini berarti jangan menggantungkan hidup pada lelaki dan hanya sebagai alat.
Dengan seiring perjalanan waktu, keakraban dan benih cintapun muncul antara Yusuf dan Maria. Bahkan, Yusuf rela mempersingkat liburan bersama keluarga demi bertemu dengan Maria yang sedang berlibur ke Bandung. Di tempat yang sama, Yusuf menyatakan perasaannya untuk pertama kalinya kepada Maria. Maria gembira sekali dan mengabarkan kejadian ini kepada Tuti. Melihat pekerti Maria yang mabuk cinta membuat Tuti tidak setuju akan hubungan tersebut karena hal tersebut mengakibatkan laki-laki akan memandang rendah kaum wanita karena terlalu memperlihatkan ketergantungannya.
Menyaksikan hubungan mesra kedua insan tersebut, perasaan aneh timbul dalam hati Tuti yaitu perasaan kesepian. Hal ini dikarenakan pada dasarnya jiwa wanita juga mendambakan cinta dan kasih sayang seorang lelaki. Pendirian Tuti-pun mulai goyah setelah Maria mengatakan: "cintamu cinta perdagangan yang mempertimbangkan sampai kepada semiligram". Ucapan yang mengingatkan Tuti dengan Hambali yang dianggap tidak mengerti akan perjuangan dan akan menghalangi langkahnya.
Cerita berlanjut dengan kunjungan Tuti, Maria dan ayahnya kepada paman dan bibinya untuk merayakan kelulusan Maria. Kemudian ada sebuah sandiwara Sandyakala ning Majapahit yang dipertunjukan oleh kelompok Pemuda Baru, Yusuf dan Maria mengambil bagian didalamnya. Tuti yang menyaksikan sandiwara terkesan akan pertunjukannya, akan tetapi tidak menyukai isi sandiwara. Hal ini dikarena falsafah yang didalamnya dianggap dapat melemahkan semangat perjuangan. "Kalau segala dianggap maya, habis segala arti hidup di dunia ini," demikian kata Tuti.
Kisah terus berlangsung dan tanpa disadari, hubungan Yusuf dan Maria mempengarui sikap Tuti seperti sering memikirkan diri sendiri dan melamun. Hal lain yang muncul adalah perasaan iri akan kebahagianan mereka. Suatu saat ada lelaki yang hendak melamar Tuti, akan tetapi ia menolaknya karena menurutnya lelaki tersebut tidak sepadan dan ia juga tidak mencintainya. Sesuai dengan sifatnya juga, Tuti tidak ingin menjadikan perkawinan sebagai tempat pelarian dari rasa kesepian atau rasa ketakutan karena dikejar usia.
Maria jatuh sakit dan harus opname di rumah sakit. Ayah Maria, Tuti dan Yusuf bergantian menjenguknya yang mana Yusuf dan Tuti tiap hari pergi bersama menjenguknya. Dalam hati Yusuf dan Tuti tanpa disadari timbul rasa saling pengertian masing-masing. Tuti menganggap Yusuf sebagai laki-laki yang sepadan, memiliki perasaan yang lapang dan pemikiran yang menghargai keindahan dan kebenaran. Yusuf memandang Tuti sebagai manusia yang memiliki jiwa perjuangan yang ceria dan tulus, tetapi terdapat bagian yang kosong dan sunyi. Di sela kejadian, Maria dikunjungi oleh pasangan suami istri yang mana membuat Tuti terkagum-kagum atas usaha dan keteguhan pendirian mereka untuk berdikari sebagai petani padahal mereka adalah orang terpelajar.
Penyakit Maria tak dapat lagi ditolong. Sehingga pada kunjungan terakhir Tuti dan Yusuf sebelum kembali ke Jakarta, Maria berpesan yang mana membuat Tuti dan Yusuf terkejut "alangkah berbahagianya saya rasanya di akhirat nanti kalau saya tahu bahwa kakandaku berdua hidup rukun dan berkasih-rasihan seperti kelihatan kepada saya beberapa hari ini ..."
Akhir cerita Yusuf dan Tuti berziarah ke kubur Maria menjelang pernikahannya yang mana perasan haru berkecambuk dalam hati mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar